Sabtu, 21 Januari 2012

10 tips sukses ala orang jepang

1. Kerja Keras
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
bangsa Jepang adalah pekerja keras.
Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang
adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi
dibandingkan dengan Amerika (1957
jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun),
Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis
(1680 jam/tahun). Seorang pegawai di
Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil
dalam 9 hari, sedangkan pegawai di
negara lain memerlukan 47 hari untuk
membuat mobil yang bernilai sama.
Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan
bisa melakukan pekerjaan yang biasanya
dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat
adalah sesuatu yang boleh dikatakan
“agak memalukan” di Jepang, dan
menandakan bahwa pegawai tersebut
termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh
perusahaan.
2. Malu
Malu adalah budaya leluhur dan turun
temurun bangsa Jepang. Harakiri
(bunuh diri dengan menusukkan pisau
ke perut) menjadi ritual sejak era
samurai, yaitu ketika mereka kalah dan
pertempuran. Masuk ke dunia modern,
wacananya sedikit berubah ke fenomena
“mengundurkan diri” bagi para pejabat
(mentri, politikus, dsb) yang terlibat
masalah korupsi atau merasa gagal
menjalankan tugasnya. Efek negatifnya
mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang
kadang bunuh diri, karena nilainya jelek
atau tidak naik kelas. Karena malu
jugalah, orang Jepang lebih senang
memilih jalan memutar daripada
mengganggu pengemudi di belakangnya
dengan memotong jalur di tengah jalan.
Mereka malu terhadap lingkungannya
apabila mereka melanggar peraturan
ataupun norma yang sudah menjadi
kesepakatan umum.
3. Hidup Hemat
Orang Jepang memiliki semangat hidup
hemat dalam keseharian. Sikap anti
konsumerisme berlebihan ini nampak
dalam berbagai bidang kehidupan. Di
masa awal mulai kehidupan di Jepang,
saya sempat terheran-heran dengan
banyaknya orang Jepang ramai belanja
di supermarket pada sekitar jam 19:30.
Selidik punya selidik, ternyata sudah
menjadi hal yang biasa bahwa
supermarket di Jepang akan memotong
harga sampai separuhnya pada waktu
sekitar setengah jam sebelum tutup.
Seperti diketahui bahwa Supermarket di
Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00.
4. Loyalitas
Loyalitas membuat sistem karir di
sebuah perusahaan berjalan dan tertata
dengan rapi. Sedikit berbeda dengan
sistem di Amerika dan Eropa, sangat
jarang orang Jepang yang berpindah-
pindah pekerjaan. Mereka biasanya
bertahan di satu atau dua perusahaan
sampai pensiun. Ini mungkin implikasi
dari Industri di Jepang yang kebanyakan
hanya mau menerima fresh graduate,
yang kemudian mereka latih dan didik
sendiri sesuai dengan bidang garapan
(core business) perusahaan.
5. Inovasi
Jepang bukan bangsa penemu, tapi
orang Jepang mempunyai kelebihan
dalam meracik temuan orang dan
kemudian memasarkannya dalam
bentuk yang diminati oleh masyarakat.
Menarik membaca kisah Akio Morita
yang mengembangkan Sony Walkman
yang melegenda itu. Cassete Tape tidak
ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki
oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi
yang berhasil mengembangkan dan
membundling model portable sebagai
sebuah produk yang booming selama
puluhan tahun adalah Akio Morita,
founder dan CEO Sony pada masa itu.
Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari
300 model walkman lahir dan jumlah
total produksi mencapai 150 juta
produk. Teknik perakitan kendaraan
roda empat juga bukan diciptakan orang
Jepang, patennya dimiliki orang
Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan
inovasinya bisa mengembangkan
industri perakitan kendaraan yang lebih
cepat dan murah.
6. Pantang Menyerah
Sejarah membuktikan bahwa Jepang
termasuk bangsa yang tahan banting
dan pantang menyerah. Puluhan tahun
dibawah kekaisaran Tokugawa yang
menutup semua akses ke luar negeri,
Jepang sangat tertinggal dalam
teknologi. Ketika restorasi Meiji (meiji
ishin) datang, bangsa Jepang cepat
beradaptasi dan menjadi fast-learner.
Kemiskinan sumber daya alam juga tidak
membuat Jepang menyerah. Tidak hanya
menjadi pengimpor minyak bumi,
batubara, biji besi dan kayu, bahkan
85% sumber energi Jepang berasal dari
negara lain termasuk Indonesia .
Kabarnya kalau Indonesia menghentikan
pasokan minyak bumi, maka 30%
wilayah Jepang akan gelap gulita
Rentetan bencana terjadi di tahun 1945,
dimulai dari bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki , disusul dengan kalah
perangnya Jepang, dan ditambahi
dengan adanya gempa bumi besar di
Tokyo . Ternyata Jepang tidak habis.
Dalam beberapa tahun berikutnya
Jepang sudah berhasil membangun
industri otomotif dan bahkan juga
kereta cepat (shinkansen) . Mungkin
cukup menakjubkan bagaimana
Matsushita Konosuke yang usahanya
hancur dan hampir tersingkir dari bisnis
peralatan elektronik di tahun 1945 masih
mampu merangkak, mulai dari nol untuk
membangun industri sehingga menjadi
kerajaan bisnis di era kekinian. Akio
Morita juga awalnya menjadi tertawaan
orang ketika menawarkan produk
Cassete Tapenya yang mungil ke
berbagai negara lain. Tapi akhirnya
melegenda dengan Sony Walkman-nya.
Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan
teori dimana orang harus belajar dari
kegagalan ini mulai diformulasikan di
Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu
kegagalan). Kapan-kapan saya akan
kupas lebih jauh tentang ini
7. Budaya Baca
Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan
masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar
penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa
sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli
duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan
waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit
yang mulai membuat man-ga (komik bergambar)
untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD,
SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi,
Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang
membuat minat baca masyarakat semakin tinggi.
Saya pernah membahas masalah komik pendidikan
di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung
oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-
buku asing (bahasa inggris, perancis, jerman, dsb).
Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku
asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring
dibangunnya institute penerjemahan dan terus
berkembang sampai jaman modern. Biasanya
terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia
dalam beberapa minggu sejak buku asingnya
diterbitkan.
8. Kerjasama Kelompok
Budaya di Jepang tidak terlalu
mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu
bersifat individualistik. Termasuk klaim
hasil pekerjaan, biasanya ditujukan
untuk tim atau kelompok tersebut.
Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja,
kondisi kampus dengan lab
penelitiannya juga seperti itu,
mengerjakan tugas mata kuliah biasanya
juga dalam bentuk kelompok. Kerja
dalam kelompok mungkin salah satu
kekuatan terbesar orang Jepang. Ada
anekdot bahwa “1 orang professor
Jepang akan kalah dengan satu orang
professor Amerika, hanya 10 orang
professor Amerika tidak akan bisa
mengalahkan 10 orang professor Jepang
yang berkelompok” . Musyawarah
mufakat atau sering disebut dengan “rin-
gi” adalah ritual dalam kelompok.
Keputusan strategis harus dibicarakan
dalam “rin-gi”.
9. Mandiri
Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk
mandiri. Irsyad, anak saya yang paling
gede sempat merasakan masuk TK
(Yochien) di Jepang. Dia harus
membawa 3 tas besar berisi pakaian
ganti, bento (bungkusan makan siang),
sepatu ganti, buku-buku, handuk dan
sebotol besar minuman yang
menggantung di lehernya. Di Yochien
setiap anak dilatih untuk membawa
perlengkapan sendiri, dan bertanggung
jawab terhadap barang miliknya sendiri.
Lepas SMA dan masuk bangku kuliah
hampir sebagian besar tidak meminta
biaya kepada orang tua. Teman-temen
seangkatan saya dulu di Saitama
University mengandalkan kerja part time
untuk biaya sekolah dan kehidupan
sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang,
mereka “meminjam” uang ke orang tua
yang itu nanti mereka kembalikan di
bulan berikutnya.
10. Jaga Tradisi
Perkembangan teknologi dan ekonomi,
tidak membuat bangsa Jepang
kehilangan tradisi dan budayanya.
Budaya perempuan yang sudah menikah
untuk tidak bekerja masih ada dan
hidup sampai saat ini.
Budaya minta maaf masih menjadi reflek
orang Jepang. Kalau suatu hari anda
naik sepeda di Jepang dan menabrak
pejalan kaki , maka jangan kaget kalau
yang kita tabrak malah yang minta maaf
duluan.
Sampai saat ini orang Jepang relatif
menghindari berkata “tidak” untuk
apabila mendapat tawaran dari orang
lain. Jadi kita harus hati-hati dalam
pergaulan dengan orang Jepang karena
“hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang
Pertanian merupakan tradisi leluhur dan
aset penting di Jepang. Persaingan keras
karena masuknya beras Thailand dan
Amerika yang murah, tidak menyurutkan
langkah pemerintah Jepang untuk
melindungi para petaninya. Kabarnya
tanah yang dijadikan lahan pertanian
mendapatkan pengurangan pajak yang
signifikan, termasuk beberapa insentif
lain untuk orang-orang yang masih
bertahan di dunia pertanian. Pertanian
Jepang merupakan salah satu yang
tertinggi di dunia.


sumber :
http://coretaja.wordpress.com/2008/11/13/10-resep-
sukses-jepang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar